Jumat, 23 Januari 2009

Kafka on the Shore (Spoiler Alert)

Di toko buku yang sudah hampir tutup, saya menghampiri seorang teman yang duduk di depan komputer. “Gue mau ngobrolin Kafka on the Shore,” ujar saya.

Kafka on the Shore adalah novel karya Haruki Murakami kedua yang saya baca, setelah Norwegian Wood. Teman yang dihampiri itu yang meminjamkannya. Sejenak ia menoleh dari monitor komputer dan mengangguk, “Ya. Tapi bentar, gue mau liat trailer Confession of a Shopaholic dulu.” Si teman lantas menggeser monitor komputernya agar saya ikut menonton juga.

Ketika trailer selesai, teman saya itu tampak puas. “Gue suka banget serial ini,” katanya. “Lucu. Satu kata aja udah bikin gue ketawa-tawa.”

Saya hanya mengangkat alis, lalu membuka pembicaraan, “Gue suka baca Kafka on the Shore, tapi ada banyak hal yang belum gue pahami. Apa maksudnya kemunculan batu pembuka, Johnnie Walker, atau Colonel Sanders?”

Kemudian saya menceritakan data yang saya temukan di Wikipedia. Ternyata setelah Kafka on The Shore terbit, Haruki Murakami membuka kesempatan bagi para pembaca untuk menanyakan bagian-bagian yang tidak dipahami. Dari 8000an pertanyaan yang masuk, novelis kelahiran Kyoto yang besar di Kobe itu menjawab sekitar 1200an. Murakami pun menganjurkan agar penggemarnya berulang-ulang membaca novel setebal 600an halaman ini. Katanya, ‘Kafka on the Shore memuat beberapa teka-teki tanpa menyediakan jawabannya. Alih-alih teka-teki tersebut lantas dijalin, dan dari jalinan itu lantas muncul sebuah kemungkinan jawaban yang bakalan berbeda bagi setiap pembaca. Dengan kata lain, teka-teki dalam novel ini berfungsi sebagai bagian dari jawabannya. Sulit dijelaskan, tetapi memang seperti inilah novel yang ingin saya tulis.’

“Jadi menurut lo novel ini tentang apa?” tanya saya.

Teman saya manggut-manggut. “Gue memang belum ngerti makna perjalanan Nakata, pertemuannya dengan Johnnie Walker, Colonel Sanders, hujan lintah, hujan ikan salmon, dan lain-lain,” jawabnya. “Tapi menurut gue novel ini tentang bagaimana si Kafka, tokoh utamanya, lari dari rumah dan akhirnya kembali lagi ke rumah.”

Dua nama yang disebut teman saya: Kafka dan Nakata, merupakan protagonis dalam buku Kafka on the Shore. Kafka Tamura adalah laki-laki berusia lima belas tahun yang kabur dari rumah karena bermasalah dengan ayahnya. Ia lari dari rumah ke kota di mana tak seorangpun yang dikenalnya. Nakata adalah seorang kakek tua aneh yang bisa berbicara dengan kucing.

“Menurut lo sendiri gimana?” Teman saya bertanya balik. “Lo lebih suka yang ini atau Norwegian Wood?”

“Gue suka dua-duanya, tapi lebih suka yang ini. Memang dua-duanya banyak mencantumkan referensi pop. Yang menarik, Norwegian Wood setting-nya Jepan tahun 1960an, wajar kalau musik yang disebut-sebut itu The Beatles, Simon and Garfunkle, Sarah Vaughan; film yang disebut The Graduate. Kalau Kafka on the Shore kan setting-nya Jepang masa kini, yang disebut-sebut malah musik klasik: Haydn, Trio Archduke-nya Beethoven, dll; film yang disebut juga film hitam-putihnya Francois Truffaut, The 400 Blows. Tapi sekali lagi gue lebih suka Kafka, karena di sini selain kebudayaan barat Murakami juga memberikan porsi yang besar buat kebudayaan Jepang.”

Kepala teman saya terangguk. Ketika ia ingin menimpali, manajer toko buku mengumumkan kalau toko akan segera ditutup. Jam dinding baru menunjukkan pukul sembilan, tetapi malam ini rupanya sepi pengunjung. Saya pun menghela napas, dan memberinya pandangan I-guess-this-is-it.

“Masih banyak yang mau diomongin, ya?” tanyanya.

“Ya.”

“Mau sambil makan malem, nggak?”

Kening saya berkedut. “Kan tokonya mau tutup?”

“Ya nggak di sini.”

Toko buku yang menjual buku-buku bekas berbahasa Inggris itu pun ditutup untuk hari ini. Komputer dimatikan. Lampu-lampu dimatikan. Pintu-pintu dikunci. Saya diam menunggu si teman mengisi absensi di halaman parkir, sampai ia datang menghampiri dan bertanya, “Mau makan di mana?”

“Warteg seberang jalan?” tunjuk saya asal.

Si teman menggeleng dan mengusulkan agar kami makan nasi goreng di Jalan Tamansari. Saya mengiyakan. Kami pun pindah ke sana. Sementara ia memesan Nasi Goreng Mawut dan Es Teh Manis, saya memesan Nasi Goreng Cumi dan Es Teh Tawar. Sambil menunggu kami melanjutkan pembicaraan.

“Gue paling suka karakter Oshima, si perempuan hermaphrodite itu,” ujar saya.

“Karena teridentifikasi?” potongnya.

Saya tertawa. “Gue suka karakternya aja. Biarpun secara fisik posisinya nggak enak, tapi dia nggak terlalu mengasihani diri sendiri. Oshima juga pintar dan bitchy, interaksi Kafka sama Oshima bikin novel ini jadi makin jenaka dan enak dibaca. Kalo lo teridentifikasi sama karakter yang mana?”

“Oshima bitchy?!” Teman saya tertawa. “Sebetulnya gue lebih merasa teridentifikasi sama pengarangnya. Dia terpengaruh budaya Barat, tapi nilai-nilai itu berpadu dengan budaya dan tradisi Jepang,” lanjutnya. “Gue pikir perpaduan dari dua nilai itu merupakan refleksi besar dari keadaan kita, terutama gue: hidup dalam keadaan dilematis di bawah pengaruh nilai-nilai Barat versus nilai-nilai Timur. Ngerti, kan? Hal-hal seperti norma, tata krama, tradisi, atau bahkan agama.”

Pesanan kami tiba. Nasi goreng hangat menggunung di atas dua piring dengan kerupuk-kerupuk kecil. Saya mengambil wadah acar mentimun dan menawarkannya kepada teman saya. Ia menolak, saya lantas mengambil untuk diri sendiri.

“Jadi maksud lo Haruki Murakami memasukan unsur budaya Barat dan budaya Jepang ke novelnya secara seimbang?” Saya bertanya setelah menyelesaikan kunyahan pertama.

“Bukan seimbang. Gue nggak bisa menjelaskan seberapa banyak dia memasukan budaya Barat atau Jepang. Yang jelas keduanya berpadu dengan mengagumkan, beautifully blending,” jelas teman saya. “Awalnya gue pikir bakalan susah buat bisa memahami novel Haruki Murakami, ternyata nggak. Malah gue nggak bisa berhenti ngebacanya, beda sama Virginia Woolf yang narasinya suka lompat-lompat. Meskipun Kafka on the Shore punya keruwetannya sendiri pada alur cerita dan latar belakang karakter, gue berani bilang bahwa pembaca pemula sekalipun bisa dengan mudah memahami semua detil pada setiap bab.”

Kami melanjutkan makan, sampai kedua piring kami licin tandas dan es teh kami habis. “Do you mind if I smoke?” tanya teman saya.

Saya mengangkat bahu. Go ahead. Saya memperhatikan caranya menyalakan sebatang rokok. “Gue kurang suka sama karakter Kafka. Dia lemah sekali. Dia butuh alter egonya Gagak buat bisa mengungkapkan apa yang sebetulnya ia rasakan. Kalau nggak ada interaksi dengan Oshima, Sakura, atau Nona Saeki bab-bab yang berfokus pada Kafka bakal sangat membosankan. Mungkin karena karakternya masih remaja, ya? Murakami sendiri mendeskripsikan bahwa Kafka sedikit bicara karena suaranya belum sepenuhnya berubah.”

“Memang karakter Kafka masih remaja,” sahut teman saya. “Tapi kata gue buat ukuran remaja dia termasuk maju. Dia berani kabur dari rumah waktu usia lima belas tahun dan dalam cerita ini, Kafkalah yang banyak ngambil keputusan penting, termasuk apakah dia ngerealisasiin ramalan ayahnya; dan gimana ia sampe pada keputusan kembali ke rumah dan sekolah.” Ia terdiam sejenak. “Kalau gue nggak ngerti tentang peristiwa-peristiwa aneh di dunianya Nakata.”

“Gue nggak begitu mempertanyakannya. Ibaratkan seperti Harry Potter, kita nggak mengunakan logika kita buat memahami dunia sihir itu, kan? Bagi gue kejadian-kejadian yang dialami Nakata memang kejadian yang perlu terjadi agar Kafka bisa pulang ke rumah; agar Murakami bisa lebih banyak berfilsafat, membicarakan Francois Truffaut, membicarakan Hegel,” sahut saya. “Ada dialog tentang Hegel yang masih gue ingat. Jadi Hoshino, teman Nakata, berdiskusi sama Colonel Sanders dengan bahasa yang rumit banget. ‘Sebuah subyek harus memproyeksikan diri kepada obyek sehingga nilai subyek tersebut makin meningkat’. Kalau disederhanakan seperti ‘Menempatkan diri sendiri di posisi orang lain’, kan?”

“Bukan itu sebetulnya. Ini dibahas kok di mata kuliah Psikologi Fenomenologi, gue dapet A. Mungkin elo harus menanyakannya pada temen kita yang lain, skripsinya tentang fenomenologi.”

“Oh,” ujar saya. Selesai ia menghabiskan hisapan rokoknya, kami keluar dari tenda kaki lima. Langit malam itu kemerah-merahan, milky twilight. Setelah membayar ongkos parkir, kami mengendarai motor masing-masing menuju arah yang berlainan.

1 komentar:

  1. Untuk semakin memperluas wawasan lu ttg Murakami, gw sarankan untuk lebih banyak membaca karyanya. Lebih bagus kalo lu bs dapet The Wind-up Bird Chronicles (yg sampe saat ini belon bs gw temukan di Bandung).

    Btw gw jg suka Shopaholic series. Light reading, tp sangat enternaining. Selain itu gw punya keyakinan: semakin variatif genre yg lu baca, semakin kaya pemikiran lu.

    BalasHapus