Jumat, 13 Maret 2009

Selekta Busik, Milm, dan Fuku

Tiga minggu belakangan, sebetulnya ada banyak musik, film, dan buku yang saya nikmati. Namun, saya agak malas menulis resensinya. Saya terjebak dengan keruwetan format resensi sendiri! Untuk seterusnya, tulisan-tulisan di blog ini akan berformat lebih santai.

Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat bagi penyanyi folk favorit saya, Ryan Adams, yang menikah dengan mantan bintang pop remaja, Mandy Moore, pada tanggal 10 Maret 2009. Mereka berbeda delapan tahun, Adams 32, sementara Moore 24. Saya tidak terlalu hapal nama mantan-mantan mereka. Seingat saya Ryan Adams pernah pacaran dengan indie film star Parker Posey, sementara Mandy Moore dengan petenis Amerika Serikat Andy Roddick. Sebetulnya agak aneh juga melihat mereka menikah, apalagi jenis aliran yang digeluti berbeda dan mereka pacaran baru satu tahun. Meskipun begitu saya tetap berharap yang terbaik bagi mereka.

'Mong-omong, minggu lalu saya menghadiri Q Film Festival, yang memutar film-film bertemakan gay, lesbian, biseksual, dan transgender. Ada dua film yang saya tonton, judulnya I Don't Want to Sleep Alone (IDWSA) dan Balls. IDWSA berlatarkan Kuala Lumpur, Malaysia. Saya melewatkan awal film karena ketika sampai di Rumah Buku ternyata film ini sudah mulai diputar. Yang saya tangkap, IDWSA bercerita tentang seorang perantau babak belur yang akhirnya dirawat oleh seorang tenaga kerja imigran. Si TKI akhirnya jatuh hati dengan si perantau, sementara si perantau malah tertarik dengan pembantu rumah tangga tempat kos si TKI. Lucunya, sesi making out antara perantau dan pembantu ini sering terganggu kabut asap yang 'diekspor' oleh Indonesia. Akhirnya mereka malah batuk-batuk dan tidak jadi making out. Film ini banyak bermain dengan tuturan visual, sementara untuk dialog dan musiknya bisa dibilang cukup minimal.

Lain IDWSA, lain Balls. Apabila IDWSA cukup nyeni dan simbolis, Balls agak mirip dengan film-film olahraga Holywood yang biasanya memenangkan underdog. Diceritakan seorang pemuda Jerman anak tukang roti, Ecki, dibuang oleh timnya karena gagal menangkap penalti dan belakangan ketahuan gay. Merasa murka karena dihina terus-terusan, Ecki menantang tim yang mengusirnya untuk bertanding dengan tim sepakbola yang isinya laki-laki homo semua. Tantangan pun disambut. Masalahnya adalah tidak ada tim sepakbola seperti itu. Ecki harus memulai semuanya. Petualangan pencarian anggota tim pun dimulai. Ecki dan kakaknya lantas berkeliling ke bar-bar gay di Dortmund, mulai dari yang normal sampai yang menawarkan S & M. Sebetulnya jalan cerita film ini cukup mudah diprediksi, tetapi unsur komedinya cukup kuat. Ada banyak tawa di Balls, cocok untuk ditonton bersama banyak teman.

Beralih ke buku, sekarang saya sedang membaca dua buku sekaligus: When I Whistle karya Shusaku Endo dan The 2½ Pillars of Wisdom-nya Alexander McCall Smith. When I Whistle sebetulnya sudah lama saya miliki. Saya membeli buku itu ketika ada Book Expo di Unpar satu atau dua tahun yang lalu, jadi stand Periplus Bookstore mengobral banyak novel-novel terjemahan Jepang ke Bahasa Inggris dengan harga 5000/buku! Goblok rasanya kalau tidak memborong banyak buku, tahu sendiri betapa langkanya novel Jepang yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Nah, When I Whistle ini termasuk salah satu dari buku yang saya borong. Setelah lama didiamkan, minggu ini saya mulai membacanya. Temanya ternyata cukup menarik, semacam bildungsroman berlatar Jepang sebelum Perang. Belakangan baru saya sadar, kalau Shusaku Endo ini termasuk pengarang Jepang yang mendapat berbagai macam penghargaan bergengsi di sana.

Di sela-sela membaca When I Whistle, saya menyempatkan membaca The 2½ Pillars of Wisdom. Saya membelinya ketika ke Ommunium bersama teman baik saya saat ini, Nia, beberapa waktu yang lalu. The 2½ Pillars of Wisdom terdiri dari tiga 'buku serial' yang digabungkan menjadi satu buku. Novel ini banyak bercerita tentang kehidupan akademisi di Eropa: bagaimana mereka berjuang untuk mendapatkan PhD, simposium-simposium apa yang mereka hadiri, dan bagaimana mereka memperlakukan koleganya, dianggap kawan atau lawan? Tokoh utamanya adalah Dr. Moritz-Maria von Igelfeld, seorang philologist (ahli bahasa) dengan karya tulisnya yang mengagumkan tetapi angka penjualannya rendah. Saya baru selesai membaca 'buku' pertamanya, Portuguese Irregular Verbs, yang terdiri dari fragmen-fragmen kejadian yang bisa dibaca secara terpisah. Novel ini sendiri sangat-sangat tipikal karya Alexander McCall Smith yang ringan, lucu, tetapi tidak terlewat membahas masalah etika. Cocok dibaca pada sore hari yang cerah di teras rumah sembari minum minuman hangat.

Terakhir, saya membahas musik. Saya baru saja mengunduh album selftitled-nya Conor Oberst, pentolan Bright Eyes, yang kental dengan nuansa folk-nya. Saya juga lagi suka-sukanya mendengar Rilo Kiley, album The Execution of All Things dan More Adventurous. Musiknya cukup ceria tipikal band indie Amerika Serikat akhir 90-an dan awal 2000-an. Tidak ketinggalan saya mengunduh Dark Was The Night, sebuah album kompilasi amal yang dibuat artis-artis indie. Yang terlibat antara lain Feist, Grizzly Bear, The Arcade Fire, Yo La Tengo, Sufjan Stevens, Cat Power, you name it. Sepertinya semua artis yang suka janjian untuk membuat album ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar