Sabtu, 04 April 2009

Gaarder, Murakami, dan McCall Smith :))

Dua minggu ini merupakan minggu-minggu membaca yang dimanfaatkan dengan efisien. Tidak kurang ada tiga novel yang berhasil dituntaskan, dua di antaranya berbahasa Inggris, sementara salah satunya merupakan terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Spesialnya, ketiga buku ini masing-masing ditulis oleh tiga penulis favorit saya. Buku-buku tersebut adalah Cecilia dan Malaikat Ariel, Friends, Lovers, Chocolate, dan After Dark.


Cecilia dan Malaikat Ariel ditulis oleh Jostein Gaarder, guru filsafat dari Norwegia yang juga menulis Dunia Sophie. Tokoh utama dalam buku ini ... siapa lagi kalau bukan Cecilia? Ia adalah anak perempuan yang tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya pada Hari Natal karena sakit. Malamnya, ketika terbangun sendirian Cecilia didatangi Ariel, malaikat humoris telaten yang selalu penasaran. Berdua saja, mereka berdialog tentang keajaiban bumi, manusia, dan surga.

Saya jadi teringat, pertama kali mendapat kesempatan membaca karya Gaarder adalah sewaktu kelas tiga SMA. Ketika itu hari Jum'at, murid-murid sekolah pulang cepat, dan saya dan seorang teman ke Mesjid Salman ITB buat sholat Jum'at. Sebelum sholat, kami melihat-lihat dulu dagangan yang digelar di depan mesjid. Di mobil pick up yang menjual buku-buku bekas, bertemulah kami dengan Dunia Sophie. Teman saya sudah membacanya. (Agak mengagetkan karena di luar komik biasanya ia cukup illiterate.) Ia pun merekomendasikan Dunia Sophie, dan membantu menawar harga. Dengan 40.000 rupiah, buku itu lantas masuk ke dalam tas. Sejak itu, saya setia membaca karya-karya Jostein Gaarder yang lain.

Cecilia dan Malaikat Ariel merupakan novel anak-anak yang cocok dibaca untuk semua umur. Gaya bahasanya ringan, imajinatif, dan khas Gaarder, mengajak pembacanya untuk berpikir, bertanya, dan berfilsafat. Dialog antara Cecilia dan Malaikat Ariel mengalir lancar dan memikat. Bagian yang paling saya suka adalah ketika mereka saling membandingkan 'indera' mereka masing-masing. Bagian malaikatnya rekaan, tetapi terasa masuk akal. Ngomong-ngomong, buku ini ditutup dengan sebuah kutipan dari Perjanjian Baru.


Buku kedua adalah After Dark karya Haruki Murakami yang mengisahkan kehidupan pada sebuah malam. Ada Mari, seorang perempuan remaja pendiam yang membaca buku sendirian di restoran fast food; Takahashi, pemain trombone bawel yang akan berlatih dengan band jazz-nya; lalu Eri, kakak Mari yang tidak bangun-bangun dari tidurnya selama beberapa bulan belakangan.

Saya tidak mengerti ... sebetulnya mengerti, mengapa saya tidak bosan-bosannya membahas Haruki Murakami. (Please Andika, enough is enough.) Buku ini tidak setebal dan serumit karya Murakami lain yang sudah saya baca, tetapi tetap saja. Saya menikmati interaksi antara Takahashi dan Mari, dan tentu saja mengharapkan kedua tokoh itu memiliki kisah cinta yang menarik.

Berbicara tentang Haruki Murakami tentu tidak akan lepas terlalu jauh dari budaya populer. Kali ini Murakami memlesetkan Love Story. Film yang aslinya tearjerker ini direka ulang Murakami menjadi sebuah film percintaan yang cheesy. :)) Naughty Murakami!


Buku ketiga tidak lain adalah Friends, Lovers, Chocolate karya Alexander McCall Smith. Novel ini merupakan buku kedua dari serial The Sunday Philosophy Club yang bercerita tentang kehidupan Isabel Dalhousie, seorang wanita single di usia awal 40-an bagian dari masyarakat kelas atas di Edinburgh, Skotlandia. Isabel rutin menyambangi pertunjukan musik klasik, ambil bagian dalam pelelangan lukisan, serta makan siang di delicatessen sambil membaca koran Italia, Corriere della Sera. Sebagai seorang filsuf yang menjabat editor jurnal Review of Applied Ethics, benak Isabel selalu diwarnai perdebatan-perdebatan soal etika: mulai dari kecampurtanganannya dalam urusan orang lain, sampai dengan jumlah yang sopan dalam mengambil roti. Dan seperti biasa, Isabel didampingi teman-temannya yang setia. Ada Grace, housekeeper yang cerdik dan judgmental; Cat, keponakan Isabel yang payah dalam memilih laki-laki; dan Jamie, bassoonist muda dan ganteng yang membuat Isabel sulit berkonsentrasi.

Dalam Friends, Lovers, Chocolate, Isabel bertemu Ian, seorang psikiater elegan yang semenjak mendapat transplantasi jantung kerap melihat bayangan wajah orang yang tidak pernah ditemuinya. Sementara itu Cat memperkenalkannya pada Tomasso, pengusaha sepatu dari Italia sebaya Isabel yang lebih tertarik kepada wanita pertengahan 20 tahun. Isabel juga harus menghadapi perasaan sukanya pada Jamie, yang makin tidak karu-karuan saja.

Mungkin sudah kelihatan bahwa novel ini merupakan bacaan ringan. Namun, cukup banyak pemikiran-pemikiran menarik yang muncul. Saya suka reaksi Isabel ketika Tomasso menyatakan bahwa di Napoli pria seusianya menikah dengan wanita yang lebih muda.

"Bukankah kesetaraan hampir tidak mungkin dalam hubungan seperti itu?" tanya Isabel.

"Ya," jawab Tomasso. "Tapi siapa yang menginginkan kesetaraan? Alangkah membosankannya kesetaraan."

Isabel pun menyetujui bahwa kesetaraan, ketenteraman, atau malah perdamaian memang membosankan. Namun, ia memutuskan lebih baik memilih hal-hal membosankan itu daripada menjadi bagian dari ketidakadilan. Wow Isabel!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar