Senin, 11 Mei 2009

Desi Memang Layak Disiram

Yay! Minggu ini saya mulai menghadapi UAS! Hore! Kadang-kadang ada baiknya juga apabila hal-hal buruk ditanggapi dengan antusiasme. Apalagi menulis blog paling terasa nikmat kalau ada take home exam yang sedang menunggu buat dikerjakan.

Jadi beberapa hari yang lalu saya dan Ina mengunjungi pameran drawing tunggal Anne Nurfarina di Titik Oranje, sebuah galeri seni di Bandung yang kebetulan juga merupakan rumah Nia.

Ketika melangkahkan kaki ke dalam, saya merasa seperti dipeluk agak terlalu erat. Sketsa-sketsa Anne dengan warna-warni minimal tampak menggebyar tergantung memenuhi dinding ruang galeri yang berukuran sedang. Sketsa-sketsa tersebut bertajuk Pour Daisy. Menurut leaflet yang tersedia, koleksi yang diproduksi pada tahun 2009 ini terinspirasi pengalaman personal Anne sebagai seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Pour Daisy merupakan kumpulan sketsa yang muncul setelah senimannya sempat lama tidak berkarya. Berkat dukungan dari orang-orang terdekat, akhirnya dosen seni rupa Universitas Pasundan ini pun turun gunung dan menunjukkan refleksi kehidupannya melalui karya-karyanya.


Pour Daisy, Siram Desi. Desi adalah nama bunga yang berasal dari kata dalam bahasa Inggris dægeseage, yang artinya day's eye. Kalau diterjemahkan secara harafiah day's eye adalah mata hari. Namun, Bunga Desi bukan Bunga Matahari. Desi semacam rival Matahari di sekolah. Sebagai dua siswi yang sama-sama segar, elegan, dan penuh gairah, mereka tentu menghormati satu sama lain. Namun mereka jarang hang out karena masing-masing berasal dari keluarga dengan kelas ekonomi yang berbeda.

Setelah cukup lama melihat-lihat, saya dan teman-teman lantas berdiskusi. Kami mencoba mengungkap makna dari sketsa-sketsa Anne. Mencoba memahami bersama-sama setiap cerita dari masing-masing sketsa.



Inilah tiga lukisan yang pertama kali mencuri perhatian saya. Mereka semua ditempatkan di sisi dinding yang sama. Sayang, kemarin saya tidak terpikirkan mengambil foto ketiganya dalam sebuah frame. Ibu adalah bunga bermaskara yang tampak mesra berinteraksi dengan bayi melalui daun-daunnya. Ada dinamika menarik ketika perempuan menjalani kehidupannya sebagai seorang ibu.

Nia mengutarakan pendapatnya bahwa sementara sketsa paling kiri merupakan gambaran bayi ketika di dalam kandungan, maka sketsa paling kanan adalah ibu yang sedang menyusui. Lalu sketsa di bawahnya memiliki arti ibu yang sedang melahirkan anaknya. Secara tersirat saya menangkap koleksi Pour Daisy ini bagaikan seorang ibu yang menyenggol pelan anggota-anggota keluarganya dan berbisik, "Hei, sayangi ibu, ya? Ibu tidak ingin mengatakannya keras-keras, tetapi ibu perlu disiram kasih dan disinari perhatian kalian." Namanya bunga pada akhirnya pasti akan layu, tetapi berkat sekuntum bunga itulah bermunculan bunga-bunga yang lain.



Dua sketsa ini mengundang diskusi yang menarik. Pada awalnya Nia tidak suka dengan arsiran keduanya yang lebih tipis apabila dibandingkan dengan sketsa-sketsa yang lain. Namun, setelah diteliti lagi kami semua tertarik dengan simbol-simbol yang ditawarkan pada kedua sketsa ini. Pada sketsa pertama bunga bisa dianggap sebagai alat kelamin perempuan, sementara burung bisa dianggap sebagai alat kelamin laki-laki. Pertemuan antara bunga dan burung memunculkan sosok bayi. Sketsa ini mengingatkan saya pada mitologi dari Jepang, di mana bayi diantarkan kepada orang tuanya melalui jasa kurir burung bangau.

Sketsa kedua merupakan favorit Ina. Ia menyukai posisi tidur bayi di atas daun talas dan bagaimana tangkai daun talas seperti tali pusar yang menghubungkan antara si ibu dengan bayi. Ketika bayi lahir tali pusarnya dipotong, tetapi sampai manusia mati bekasnya tidak akan pernah hilang.

Sebetulnya selain koleksi Pour Daisy dipertunjukkan juga karya Anne lain yang (menurut leaflet) menggunakan teknik cukil kayu dan linograph. Koleksi yang terinspirasi legenda kesundaan (Shana dan Nala, serta Nini Anteh) ini sebetulnya tidak kalah menarik. Hanya saja, perhatian saya dan teman-teman kemarin sepenuhnya tercurah untuk koleksi Pour Daisy. Walaupun demikian ketika di rumah dan melihat foto-foto, saya mendapati mata saya tidak mau lepas dari sebuah karya yang terinspirasi cerita Nini Anteh.


Pameran drawing tunggal Anne Nurfarina ini masih dibuka sampai tanggal 16 Mei. Apabila tertarik, silakan berkunjung ke Titik Oranje di Jalan Taman Pramuka, dua rumah di sebelah kanan Restoran Padang Sari Bundo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar