Selasa, 28 Juli 2009

The Accidental

Sudah lama juga sejak terakhir ngeblog, membuat resensi. Padahal ada beberapa buku yang habis dibaca, ada beberapa film yang selesai ditonton. Kali ini yang akan dibahas adalah The Accidental-nya Ali Smith.


Mengambil latar sebuah vila di Norfolk, The Accidental mengisahkan keluarga Smart yang justru tidak terlalu pintar dalam memahami emosinya masing-masing. Mereka terdiri dari dua anak: Astrid dan Magnus, Eve si ibu, dan Michael si ayah tiri. Jika Astrid adalah anak perempuan dua belas tahun yang terobsesi dengan handy-cam-nya, maka kakaknya Magnus merupakan bocah SMA suicidal yang tiba-tiba menjauhkan diri dari jangkauan keluarganya. Sementara itu Eve beprofesi sebagai penulis literatur sejarah populer yang sedang mengalami writer's block, sedangkan Michael adalah dosen literatur yang terjebak dalam serangkaian affair dangkal dengan para mahasiswinya. Sampai suatu hari keluarga Smart kedatangan Amber, seorang wanita misterius yang menuntun mereka keluar dari kegelapan.

Yang paling berkesan dari buku ini adalah penggunaan stream of consciousness oleh Ali Smith melalui sudut pandang orang ketiga. Stream of consciousness merupakan jenis penuturan yang melakukan karakterisasi melalui penjabaran proses berpikir si tokoh. Semua orang mengalami peristiwa yang sama, tetapi Astrid, Magnus, Eve, dan Michael mendapat kesempatan menjelaskan peristiwa tersebut dalam versi masing-masing. Di satu sisi, penuturan yang seperti ini memungkinkan si penulis menulis begitu banyak informasi dalam satu paragraf pendek. Namun di sisi lain, penuturan ini juga membuat pembaca mesti ekstra perhatian untuk bisa mengikuti jalan ceritanya. Berikut secuplik paragraf yang berfokus pada karakter favorit saya, Astrid:

The beginning of things - when is it exactly? Astrid Smart wants to know. (Astrid Smart. Astrid Berenski. Astrid Smart. Astrid Berenski.) 5.04 a.m. on the substandard clock radio. Because why do people always say the day starts now? Really it starts in the middle of the night at a fraction of a second past midnight. But it's not supposed to have begun until the dawn, really the dark is still last night and it isn't morning till the light, though actually it was morning as soon as it was even a fraction of a second past twelve i.e. that experiment where you divide something down and down like the distance between the ground and a ball that's been bounced on it so that it can be proved, Magnus says, that the ball never actually touches the ground.

Pusing, pusing. Untungnya Ali Smith sering melakukan variasi dalam menjabarkan proses berpikir karakternya. Selain prosa, kadang-kadang ia menggunakan format tanya jawab dan soneta. Satu hal lagi yang membuat pembaca tidak mudah bosan: The Accidental memuat referensi pop tanpa menyebut judul buku atau film yang dimaksud, tetapi deskripsinya cukup membuat pembaca mengetahui hal apa yang dimaksudkan Smith.


Kebetulan Ali Smith adalah seorang lesbian, semua bukunya ia dedikasikan untuk pasangannya selama 22 tahun, Sarah Wood. The Accidental masuk dalam lima besar The Man Booker Prize 2005.

Senin, 06 Juli 2009

Tentang Identifikasi

Beberapa waktu yang lalu ketika sedang semangat-semangatnya bercerita tentang miniseri kesukaan, Angels In America, (yang lebih kurang bertemakan homoseksualitas) teman saya menyela, "Cerita kesukaan lu mesti punya karakter yang bisa diidentifikasi dengan diri sendiri ya? Dulu Six Feet Under, The Bubble, sekarang Angels in America . . ." Begitu kira-kira ucapan si teman yang dengan halus menuduh bahwa saya baru bisa menikmati cerita fiksi apabila di dalamnya ada karakter homo-nya, hahaha.

Meskipun dulu (dan sekarang) saya menertawainya, sebetulnya yang si teman katakan ada benarnya juga. Ketika membaca buku, atau menonton film, untuk memudahkan masuk ke dalam cerita saya berusaha untuk mengidentifikasikan diri dengan perasaan-perasaan yang dihadapi oleh setiap karakter, tidak cuma satu karakter homo, saja. Jadi begini, seorang teman yang lain pernah bilang bahwa dalam menulis sebuah cerita pertanyaannya cuma dua: what the hell dan what the fuck. Ada kejadian di dalam setiap cerita yang bermuara dari hubungan sebab-akibat atau sebaliknya. Setiap kali menikmati karya fiksi, pertanyaan yang saya ajukan sederhana saja, "Mengapa karakter A bertindak seperti ini? Mengapa dampak tindakannya seperti itu?" dst. Jika penutur berhasil membuat saya mengerti alasan dari tindakan karakternya, maka saya menyukai cerita tersebut.

Saya mengerti saat si teman berpendapat bahwa saya mempunyai soft spot terhadap film-film yang ada karakter homo-nya. Lebih mudah saja bagi saya untuk mencoba 'memakai sepatu' karakter-karakter tersebut, toh dalam beberapa hal sepatu yang pas di kaki mereka juga sepatu yang pas di kaki saya. Namun ada perasaan yang lebih kuat daripada sekadar perasaan teridentifikasi karena memiliki preferensi seksual yang sama, yaitu perasaan bahwa saya dan karakternya sama-sama 'ada' serta memiliki perasaan dan akal budi.

Seperti sebuah kalimat yang pernah saya temui: 'Tidaklah sulit bersimpati kepada anak kecil yang menangis, sekalipun kita tidak tahu apa alasan anak kecil itu menangis.' Saya dan anak kecil itu sama-sama 'ada' di dunia dan saya pun pernah menangis, merasakan hal yang membuat saya menangis. Saya mungkin tidak tahu alasan si anak kecil itu menangis, tetapi saya tahu persis beberapa alasan dulu saya menangis.

Itu contoh yang mudah. Semakin rumit tindakan sebuah karakter dalam cerita, maka semakin rumit pula alasan yang mesti melatari terjadinya tindakan tersebut. Jika penutur berhasil menyampaikannya, maka tidak sulit bagi saya untuk menyukai karya-karyanya. Semakin rumit tindakan karakter; semakin rumit alasannya; semakin berhasil penutur menyampaikannya; semakin saya suka dengan karya tersebut. Komentar nyinyir si teman tadi benar adanya, tetapi . . . salahnya juga ada.