Jumat, 30 April 2010

Sepucuk Surat dan Selembar Kartu Pos

Tulisan ini dibuat berdasarkan latihan menulis konflik di Reading Lights Writer’s Circle.

Versi surat:

Ezra,

Aku menulis sambil duduk di Canary Bakery. Dulu aku bisa berjam-jam singgah di sini hanya demi curi-curi menatapmu dan mungkin sedikit berbincang. Kertas surat ini kubeli dari toko buku ujung jalan, tempat kita kebetulan sama-sama berlindung dari terpaan hujan badai. Waktu itu aku senang sekali, tetapi kamu malah gelisah. Waktu kutanya, kaujawab pacarmu menunggu jemputanmu.

Eh, by the way, sepuluh tahun ini aku tak lagi di Bandung. Usai belajar drama di Upsalla, aku dapat izin kerja dan menetap di Swedia. Kurang lebih sepekan lalu ibu pergi meninggalkan aku dan kakakku. Beribu kata yang semestinya terucap menguap begitu saja. Saat ibu menyatu dengan tanah, awalnya aku tak percaya, tetapi ketika tabur bunga, aku yakin melihat kamu! Kamu bercelana jeans, berkemeja putih, bermantel hitam panjang persis seperti dulu di toko buku. Waktu itu saking buru-burunya, kamu telat mengantisipasi sedan yang mendadak keluar dari parkirannya. Kamu pasti sedih kalau melihat begitu ringseknya motor Honda kesayanganmu. Seorang tukang parkir mencoba menghalangiku melihat kondisimu. Kasihan dia, selangkangannya kutendang sekuat tenaga. Lalu air mataku bercampur dengan air hujan.

Ezra, aku tak tahu di mana alamatmu. Surat ini kutinggalkan di sini saja, kalau-kalau suatu hari kau mampir dan membeli roti. Seorang pramusaji yang baik berjanji akan menyampaikannya kepadamu.

Peluk kangen,

Karin

Versi kartu pos:

Ezra,

Aku menulis sambil duduk di Canary Bakery. Dulu aku bisa berjam-jam singgah di sini hanya demi curi-curi menatapmu dan mungkin sedikit berbincang. Kartu ini kubeli dari toko buku ujung jalan, tempat kita kebetulan sama-sama berlindung dari terpaan hujan badai. Waktu itu aku senang sekali, tetapi kau malah gelisah. Waktu kutanya, kaujawab pacarmu menunggu jemputanmu.

Setelah sekian lama tak di Bandung, tempo hari aku kembali. Ibu meninggal. Di luar permakaman, aku melihatmu. Tanganku gemetar antara acuh atau menyapa. Nyaliku ciut melihat anak yang kaugendong dan seorang perempuan yang kaugandeng tangannya. Banyak yang mau kukatakan, tetapi aku yakin kau takkan senang mendengarnya. Aku tak tahu di mana alamatmu. Kartu ini kutinggalkan di sini, kau boleh mengambilnya kalau nanti membeli roti.

Salam,

Rio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar