Kamis, 24 Juni 2010

Menonton Dekalog di MYCinema

Empat bulan terakhir, saya tak pernah melewatkan pemutaran film bersama MYCinema di GKI Maulana Yusup. Dalam dosis sedang, saya mulai kecanduan keramahan mereka, diskusi panjang seusai menonton, dan gorengan serta minuman hangat yang mengamankan perut kami dari kelaparan. Meskipun komunitas ini bermarkas di gereja, film-film yang diputar tak melulu bernilai kekristenan. Temanya beragam; mulai dari pendidikan, lingkungan hidup, kepahlawanan, sampai film-film Indonesia pilihan. Kebetulan film yang kami simak Senin lalu (14/6) adalah Dekalog VI, A Short Film About Love.

Dekalog (1990) merupakan tafsir bebas sutradara Polandia, Krzystof Kieslowski, terhadap Sepuluh Perintah Tuhan. Mulanya diproduksi untuk televisi, film berseri ini terdiri atas sepuluh episode; masing-masing berdurasi satu jam dan dapat ditonton secara terpisah. Berlatarkan sebuah kompleks apartemen di Warsawa, Dekalog kebanyakan menyoroti pilihan yang dilakukan orang-orang saat berhadapan dengan dilema drastis dalam kesehariannya.

Menjelang pemutaran, bos MYCinema, Tobing, mengimbau agar penonton tidak berseliweran di tengah-tengah film, “Film-film yang lain, kalau ditinggal sebentar kita masih bisa mengikuti jalan ceritanya. Nah, Dekalog ini enggak.”

Dekalog VI berkisah tentang Tomek (Olaf Lubaszenko), seorang pegawai kantor pos berusia 19 tahun yang memendam cinta untuk wanita yang tinggal di apartemen seberang, Magda (Grazyna Szapolowska). Perasaan tersebut muncul dari kebiasaan mengintip dengan teropong yang selalu terarah ke jendela wanita tersebut. Tomek tahu betul jam berapa Magda pulang, siapa saja pacarnya, dan menjadi saksi pada suatu malam ketika Magda menangis sendiri. Namun selain itu ia tak tahu apa-apa. Tomek lantas melakukan apapun demi mendekatkan jarak antara mereka: mengirimkan wesel palsu agar sang wanita sering ke kantor pos, menelepon malam-malam tanpa bersuara, sampai menjadi pengantar susu di gedung apartemen Magda.

Tak perlu menunggu lama sebelum Tomek menyesal, bertanggung jawab, dan sekalian menyatakan perasaannya. Kali ini cinta menunjukkan dua sisinya: menjadi angin yang melambungkan harapan Tomek, dan menjadi api bagi Magda yang toh akan padam juga. Cinta yang mampu berbalik menghanguskan harapan Tomek dan meniup habis api Magda. Film ini mengajak penonton memikirkan cinta melalui hubungan yang terjalin antara seorang pemuda tanggung dengan perempuan dewasa.

Usai bergulirnya closing credit, Tobing maju ke hadapan kami. Dekalog VI, yang terinspirasi dari Perintah Tuhan, “Jangan berzina,” rupanya merupakan episode kesukaannya. Para hadirin diajak turut berkomentar. Seorang pengunjung berpendapat bahwa meskipun film ini vulgar dan kental beraroma voyeurism, tetapi Dekalog VI berbicara banyak tentang cinta. Setelah memprotes kesalahan tulis di poster acara, Erwin, pengunjung lain, menyatakan ia juga suka film ini. Salah satu adegan yang paling diingatnya adalah ketika Magda melabrak Tomek, bertanya apakah pemuda itu pernah bermasturbasi sambil membayangkan dirinya; pertanyaan itu kemudian dijawab dengan anggukan. Menurut Erwin, apa yang sebenarnya dirasakan Tomek bukanlah cinta, melainkan ke-horny-an remaja biasa. Hipotesis ini didasarkan pengalaman Erwin yang mengaku tak pernah bermasturbasi dengan membayangkan orang yang dicintainya. Sementara itu Grace, yang terlambat datang, mengatakan film ini mempertegas sebuah pepatah lama: “Kita tak pernah menyadari sesuatu yang kita miliki, sampai kita kehilangannya.”

Sebagaimana pemutaran episode Dekalog sebelumnya, MYCinema mengundang pembicara untuk mengungkapkan makna-makna di dalam film. Pada kesempatan ini, pembicaranya adalah Pendeta Joas Adiprasetya dari GKI Pondok Indah, Jakarta. Menanggapi komentar tentang vulgar-nya Dekalog VI, tanpa ragu ia berkata, “Kalau memakai sistem klasifikasi film di Amerika, jelas film ini diberi rating R. Kalau G berarti Good dan PG berarti Parentally Good, maka R pastilah Really Good!” Pak Joas lalu bercerita tentang istilah vulgar yang lahir dari sistem kelas di Inggris. Tadinya vulgar merupakan kata yang digunakan para bangsawan untuk menyebut perilaku yang dianggap mencerminkan kebiasaan masyarakat kebanyakan (common people). "Jadi sebetulnya, vulgar itu artinya umum,” candanya.

Baru ketika membahas voyeurisme dan dongeng Peeping Tom, Pak Joas serius. Di papan tulis, pendeta ini menggambarkan grafik naik-turun hubungan Magda dan Tomek; menunjukkan di mana titik baliknya. Ia juga berbagi teori para filsuf di zaman Plato tentang keberagaman cinta: agape, philia, dan eros. “Kata orang jika agape dianggap cinta yang murni, katakanlah bintang lima, sementara philia adalah bintang empat, maka eros itu hotel kelas melati,” jelasnya diikuti tawa hadirin. “Padahal sebetulnya ketiganya tidak terpisah-pisah, tapi membentuk semacam segitiga.”

Dengan begitu, tindakan voyeur yang dilakukan Tomek terhadap Magda dapat dihitung sebagai cinta agape, atau cinta tanpa syarat. Namun itu tidak cukup, Tomek juga membutuhkan cinta eros. Eros bisa diartikan sebagai cinta yang fisik, tetapi tidak sempit dalam konteks seksual. Cinta fisik ini maksudnya Tomek merasakan gairah untuk memiliki cinta dengan utuh (desire of wholeness), yang saking utuhnya sehingga ibaratnya cinta bisa dilihat, diraba, atau malah disimpan dalam kulkas. Demi itulah si pemuda berusaha menjadi relevan dalam hidup sang wanita. Ini terlihat pada adegan ketika Tomek, meskipun takut-takut, menghadapi amukan pacar Magda.

Di lain pihak, Magda adalah wanita yang sudah banyak makan garam. Sama sekali ia tidak memberikan kesempatan cinta bertumbuh. Kalau cinta mengambil bentuk sebotol susu segar, maka Magda adalah orang kehausan yang terus-menerus menumpahkannya. Ingin memberi Tomek pelajaran, ia setuju saja ketika pemuda tanggung itu mengajaknya makan es krim. Ketika malam tiba, mereka berdua pulang ke kamarnya. Berbekal pesonanya, Magda memprovokasi terjadinya hubungan seksual, tetapi belum apa-apa Tomek keburu ejakulasi. “Inilah cinta,” kata Magda, “This is it.” Dalam keadaan terpukul Tomek menghambur keluar, tidak sadar kalau ia berpapasan dengan lelaki yang muncul di setiap momen penting Dekalog. Di kamar mandi apartemennya, ia menyayat pergelangan tangannya. Sementara itu, di tempat lain Magna termenung sendirian. Begitu Tomek melangkahkan kaki keluar, ia menyesal karena merenggut kepolosan si pemuda dengan cara yang begitu dingin. Terlebih ketika melihat mobil ambulans berhenti di apartemen seberang. Keadaan pun berbalik, giliran Magda yang mempedulikan Tomek.

Sampai di sini muncul pertanyaan, “Lho, di mana perintah, ‘Jangan berzina,’-nya?” Mengutip pernyataan Soffa dari tim MYCinema saat kami berjumpa keesokan harinya, saking bebasnya tafsir Kieslowski dalam Dekalog justru: “Nggak ada Sepuluh Perintah Tuhan-nya.” Pak Joas pun kesulitan ketika ditanyakan pertanyaan ini. Namun ia menyatakan cerita ini bisa diterima sebagai metafora hubungan cinta tanpa syarat Tuhan kepada semua ciptaannya. Cinta yang sampai melalui ‘bahasa’, yang seringkali disalahpahami sebagai Tuhan itu sendiri. Kurang lebih, Pak Joas juga menyatakan bahwa sesuatu yang berlebihan sama buruknya dengan sesuatu yang berkekurangan. “Bahkan cinta tanpa syarat pun tidak bisa dirasakan tanpa adanya kesadaran bahwa sesuatu yang dicintai itu betul-betul tak berdaya,” tutur pendeta jenaka ini.

Malam itu begitu banyak informasi mengemuka dari pembahasan oleh Pak Joas, sampai-sampai di penghujung diskusi semua hadirin kehabisan kata-kata. Sejauh mana penonton setuju dengannya, itu urusan lain. Acara pun ditutup dengan doa.

Setelah mendiskusikan Dekalog, pertanyaan yang biasanya juga muncul adalah: “Apakah dalam filmnya Krzystof Kieslowski memang bermaksud menyampaikan makna seperti yang kita bicarakan?” Surat kabar Inggris, The Guardian, melaporkan bahwa sutradara itu tidak suka bila ditanyai seputar makna filmnya. Meskipun begitu, ia bersedia menceritakan panjang lebar tentang bagaimana ia dan para kru membuat film-film tersebut. Misalnya dalam special features DVD Three Colours: Blue (1990) produksi Miramax; duduk di depan televisi, Kieslowski menceritakan bagaimana krunya menguji berbagai merk gula balok sebelum menemukan yang pas untuk keperluan sebuah adegan. Ia lalu beralih ke layar televisi dan menunjukkan adegan yang dimaksud. Kieslowski menambahkan kalau kecepatan larutnya gula harus tepat: tidak boleh terlalu cepat atau lambat. Dan ia pun memutar lagi adegan itu. Melihat hal itu, sulit membayangkan kalau Kieslowski asal membuat film saja tanpa memikirkan maknanya.

Barangkali alasan saya kecanduan menonton bersama MYCinema adalah bagaimana tanpa sungkan para penonton menjadikan film sebagai cermin: mengidentifikasikan diri dengan apa yang ada di dalamnya dan menyampaikan makna yang didapat. Diskusi bisa meluas, mereka-reka pesan yang kiranya disampaikan pembuat film. Kadang-kadang malah filmnya sendiri terlupakan.

Terlepas dari itu, Dekalog adalah film seri tentang keseharian orang-orang biasa. Di dalamnya mungkin tidak ada Tuhan, tetapi kehidupan tokoh-tokohnya seperti diatur oleh tangan-tangan tak terlihat, oleh kebetulan yang bukan kebetulan, oleh hal-hal yang luput dari genggaman. Seorang penonton tetap bernama Yunita berulang kali mengatakan, “Kalau untuk Dekalog, saya pasti meluangkan waktu.” Mungkin kemiripannya dengan hiduplah yang membuat serial ini begitu menarik.