Minggu, 12 Desember 2010

Embusan Angin yang Menyisakan Duka

Selasa siang (30/11), sekitar jam satu, sekumpulan orang duduk dan bercengkrama di ruang audiovisual Museum KAA. Semuanya menanti program pemutaran film mingguan yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2010. Mulanya film-film yang diputar khusus menceritakan Afrika dan Asia saja, tetapi lambat laun temanya makin beragam dan berganti setiap bulannya. Bulan November, mengikuti Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal sepuluh, tema filmnya adalah kepahlawanan.

“Hari ini filmnya The Wind that Shakes the Barley,” ujar Tobing Jr., penggiat program ini, jelang dimulainya acara. “DVD-nya rilisan Jive Collection. Subtitle bahasa Indonesianya bagus.”

Lampu-lampu pun dimatikan. The Wind that Shakes the Barley (2006) bercerita tentang perang di Irlandia: perang merebut kemerdekaan dari Inggris (1919-1921), serta perang saudara yang terjadi setelahnya (1922-1923). Film ini dibuka dengan pemandangan pedesaan Irlandia yang asri dan tenang. Kalaupun ada kegaduhan, itu hanyalah keluarga dan teman-teman yang tengah melepas kepergian Damien (Cillian Murphy), seorang pemuda desa yang akan kuliah kedokteran di London. Tiba-tiba mereka terusik dengan kehadiran sekelompok Black and Tans (sebutan untuk tentara Inggris yang bertugas di Irlandia saat itu). Dengan beringas, para tentara itu menginterogasi penduduk yang tak bersenjata. Ketika Micheál Ó Súilleabháin menolak menyebut namanya dalam bahasa Inggris, tentara memukuli pemuda ini sampai mati. Ini merupakan kematian pertama dari sederet kematian yang ada di film ini.

Sementara cahaya berpendar dari televisi, kursi-kursi di ruang audiovisual perlahan terisi. Melalui dialog-dialog yang sarat dengan provokasi dan idealisme, The Wind that Shakes the Barley membawa penonton mengikuti pergerakan kaum radikal di Irlandia. Terbakar amarah akibat kekejaman Black and Tans, Damien urung ke London. Ia lantas bergabung dengan posko Irish Republican Army (IRA) setempat yang dipimpin oleh kakaknya, Teddy (Padraic Delaney). Mereka mulai membunuhi tentara Inggris secara gerilya. Tidak lama kemudian, IRA tidak hanya menumpas Black and Tans, tetapi juga orang-orangnya sendiri yang dianggap berkhianat. Damien bahkan mengekskusi sendiri teman sepermainannya, Chris Reilly, karena Chris membocorkan identitas anggota IRA.

Perlu dicatat: The Wind that Shakes the Barley bukanlah film tentang kehidupan dan kematian figur besar yang menjadi simbol perjuangan bagi para pengikutnya. Damien bukan tokoh utama dan Inggris juga bukan musuh utama. Setelah melalui perundingan dan perang yang memakan banyak korban, traktat perdamaian Inggris-Irlandia (Anglo-Irish Treaty) keluar pada tahun 1921. Perjanjian ini diantaranya menentukan bahwa Irlandia akan merdeka sebagai negara Persemakmuran Inggris, dan Irlandia Utara akan diberikan kepada rakyat Irlandia yang ingin tetap bersama Inggris (=diberikan kepada Inggris). Anglo-Irish Treaty memecah IRA.

Kakak-beradik Teddy dan Damien terpisah ke dalam dua kubu yang berseberangan. Menurut Teddy, traktat ini harus diterima karena merupakan tonggak perdamaian antara Inggris dan Irlandia. Meskipun tidak sempurna, tetapi kondisi itu bisa dibetulkan kelak ketika Irlandia sudah merdeka. Di sisi lain, Damien beranggapan mereka harus tetap berperang demi mendapatkan kemerdekaan penuh dan menjamin dikelolanya sumber-sumber ekonomi secara kolektif. (Ya, ia Marxist.) Bila perjuangan mereka berhenti sampai di situ, maka ribuan nyawa orang Irlandia terbuang sia-sia. Perang saudara pun pecah dan memakan lebih banyak korban lagi. Pada akhirnya kubu Teddy yang menang. Film ini berakhir dengan eksekusi Damien di bawah komando Teddy.

The Wind that Shakes the Barley disutradarai Ken Loach, sineas senior Inggris yang diganjar Palm d’Or dari Festival Film Internasional Cannes 2006 untuk filmnya ini. Ketika hendak dirilis di negaranya, film ini—diproduksi dengan menggunakan dana dari pemerintah Inggris—menuai banyak kontroversi karena dianggap pro-IRA. Beberapa kritikus bahkan menuding Loach membenci negaranya. Tidak memisahkan antara kepercayaan dengan proses berkaryanya, Ken Loach membuat film yang lebih sering dianggap sebagai propaganda daripada karya seni. Perihal propaganda ini mengemuka dalam diskusi yang digelar setelah pemutaran film selesai. Sekitar dua puluh orang tetap duduk di kursinya. Seorang penonton bernama Agus bertanya, “Apakah industri film menghasilkan propaganda?”

Tobing Jr. menjawab, “Beberapa film memang propaganda. Misalnya Top Gun, yang menunjukkan kerennya menjadi pilot pesawat tempur Amerika Serikat.” Lalu apakah The Wind that Shakes the Barley merupakan propaganda? Menurut Rizki, “Film propaganda membuat penonton melihat dari satu arah, tapi dalam film ini saya melihat ada dua sudut pandang, ada pergumulan-pergumulan di dalamnya.”

Sekilas karakter-karakter Loach, termasuk Damien, terlihat seperti potret kaum proletar yang berjuang melawan cengkraman pemodal dan pemerintah yang merupakan kepanjangan tangan pemodal. Misalnya, dalam Bread and Roses (2000) Adrien Brody memerankan aktivis buruh yang dikejar-kejar satpam ketika berkampanye kepada petugas cleaning service dari Meksiko. Atau dalam Looking for Eric (2009), di mana tokoh utamanya adalah pegawai kantor pos (kelas pekerja) yang melindungi anak-anaknya dari ancaman gangster setempat (kelas menengah). Namun, Ken Loach tidak serta-merta memenangkan mereka. Jalan cerita dalam filmnya seringkali mirip dengan kehidupan: karakter-karakter itu harus membayar demi mempertahankan idealisme mereka.

Pengunjung setia program pemutaran film ini, Pak Mahmud berpendapat, “Mungkin saya terbiasa dengan film Hollywood. Film ini jadi terasa panjang dan membosankan. Mungkin kepintaran Amerika Serikat adalah membuat film propaganda dalam kemasan yang menarik.” Gerry berkomentar, “Film ini bagus karena menunjukkan bahwa merebut kemerdekaan itu sulit, tapi, mengutip Bennedict Anderson, nation building juga sulit. Terjadi perebutan kekuasaan karena mereka belum menyatukan persepsi.” Ariz menyetujui, “Lebih susah waktu sudah merdeka.”

The Wind that Shakes the Barley, atau dalam bahasa Indonesia: Embusan Angin yang Menggoyangkan Jelai (padi-padian yang biji atau buahnya keras), judul film ini diambil dari lagu balada Irlandia yang ditulis Robert Dwyer Joyce (1836-1883). Lagu ini bercerita tentang seorang pemberontak muda yang mesti memutuskan hubungan dengan kekasihnya supaya bisa bergabung dengan kaum pemberontak. Ketika itu kaum pemberontak selalu membawa jelai untuk bekal makanan. Lagu ini melambangkan resistensi Irlandia terhadap Inggris. Berikut penggalan liriknya: I sat within a valley green/ I sat me with my true love/ My sad heart stroove to choose between/ The old love and the new love/ The old for her, the new that made me think of Ireland dearly.

Kembali ke diskusi, tema perang dalam The Wind that Shakes the Barley menarik perhatian Harry, “Ini film perang kesekian yang saya tonton, dan semakin banyak saya menonton film perang semakin saya membenci perang. Menurut saya perang bukan mencari menang, tapi mencari kalah. Pihak yang tertindas, ketika berkuasa pun akhirnya akan menindas.” Sedikit lain dengan Wulan yang menyatakan, “Nonton film ini saya melihat bahwa damai nggak bisa dicapai tanpa perang. Bahkan ketika damai pun setiap negara harus siap untuk berperang.”

Perjuangan mencapai kemerdekaan Irlandia diperoleh dengan jatuhnya korban. Di tengah-tengah cerita, penonton melihat bahwa perjuangan Damien dan Teddy tidak lagi hanya digerakkan idealisme, tetapi juga oleh dendam. Ujung-ujungnya, Damien mesti meninggal karena mempertahankan idealismenya. Apakah hasil dari perjuangan-perjuangan ini sepadan dengan harga yang mesti dibayar? Pertanyaan ini tetap membekas setelah film ini selesai.