Rabu, 17 Agustus 2011

Bandung, 18 Juli 2011

Bandung, 18 Juli 2011

Kepada Pak R

di depan monitor paling besar
di ruang komputer.

Kelihatannya Napak Tilas Konperensi Asia-Afrika yang lalu membuat penasaran sejumlah orang di museum. Sebelum hari H, terhitung ada empat staf yang menanyakan apakah saya ikut juga dalam perjalanan ke Jakarta itu. Bapak masih ingat? Sehari jelang napak tilas, Menteri Luar Negeri kita mengunjungi museum dalam rangka inspeksi mendadak. Sementara Pak Isman menemani beliau berkeliling, Bu Ely menginstruksikan para staf museum agar kelihatan sibuk. Hari itu Pak Naryo bahkan memakai kemeja terbaiknya, Pak Marty menjabat tangan nyaris semua orang, termasuk tangan saya dan Iyan. Beliau kelihatan puas. “Ini teman-teman Sahabat Museum,” Pak Isman memperkenalkan. “Lagi apa?” tanya Pak Marty. “Gunting-gunting!” sahut saya yang sedang mengguntingi nametag peserta napak tilas. “Apa?” Beliau keheranan. “Gunting-gunting,” ulang istrinya, tersenyum. Ketika Pak Marty melanjutkan berkeliling, Bapak lalu mengingatkan Iyan untuk menyerahkan foto-foto napak tilas 'besok'. “Penting untuk laporannya nanti,” ujar Bapak. Tentu saja akhirnya berfoto merupakan kegiatan pertama kami setiap kali sampai di tempat tujuan! Barangkali hasilnya saat ini sudah ada di database museum, tersimpan aman dalam folder 2011 – JULI – ACARA. Saya pikir tak ada ruginya menulis sedikit catatan untuk melengkapi foto-foto tersebut. Mudah-mudahan setelah membaca ini, Bapak dan staf museum lainnya tidak lagi penasaran.


Rabu, 13 Juli 2011. Ketika langit berubah warna dari hitam menjadi biru, rombongan Asian African Reading Club + Komunitas Aleut! bangkit dan memulai perjalanan. Untuk perjalanan sehari, daftar tujuan kami lumayan banyak: Istana Bogor, Gedung Pancasila, Kediaman Roeslan Abdulgani, Kediaman Ali Sastroamidjojo, serta Newseum Café. Sekitar enam puluh orang rombongan kami menumpangi Bus Patriot. Saya duduk di antara Sesti (24) dan Auliasa (19). Kami bertiga menempati kursi tiga deret yang menempel di bagian kanan bus. Di belakang kami terdapat kaca tembus pandang yang memisahkan area ber-AC dengan area merokok. Area merokok ini disebut akuarium. Di dalamnya tampak jelas wajah Pak Des, Pak Samudro, Febby, serta teman-teman lain sedang asyik mengobrol. Namun bagi siapapun di luar akuarium, isi obrolan mereka tetap jadi misteri.


Pagi itu Bus Patriot melaju sama mellow-nya dengan lagu-lagu Dewa dan Kerispatih yang mengalun darispeaker. Mungkin hanya menang sedikit dari laju angin sepoi-sepoi. Rombongan kami tiba di Kota Hujan sekitar jam 9. Saya dan Sesti mengagumi pemandangan rumah dan bangunan di sekitar Kebun Raya Bogor. Semua rindang dan tertata. Penulis Fira Basuki pernah mengibaratkan kota ini sebagai telur ceplok; Istana dan Kebun Raya merupakan kuning telurnya. Saya teringat gerundelan Bapak ketika baru dari pulang dari dinas ke Yogyakarta: “Di sana pasarnya bersih, lapak-lapaknya rapi, beda dengan di sini yang kotor, semrawut. Saya bingung ciri khasnya Bandung apa.” Seandainya ada wisatawan yang menanyakan, “Di mana pusat kota Bandung?”, bagaimana Bapak akan menjawabnya?

Memasuki Istana Bogor, rombongan kami diarahkan menuju pelataran sayap kiri. Di halaman istana, sejauh mata memandang yang ada cuma rumput dan pepohonan! Mungkin ini hanya dirasakan oleh orang yang tak pernah menonton sepak bola daru pinggir lapangan, tetapi inilah pertama kalinya saya melihat warna hijau sebanyak itu! Siapa yang setiap hari menyiram rumput? Apakah Tuhan? Inikah alasan Bogor dijuluki Kota Hujan? Dan siapa pula yang menjaga rumput tetap pendek? Di kejauhan tampak juga sejumlah patung hias. Konon beberapa di antaranya merupakan pemberian Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito untuk Presiden Soekarno. Saat dunia dibekukan Perang Dingin, keduanya bahu-membahu memprakarsai Gerakan Non-Blok. Ketika nyaris semua orang sibuk dengan kameranya, hanya Dian Vita yang terlihat santai-santai. Gadis berkacamata ini menjelaskan bahwa setiap ulang tahun kota Bogor. Istana Bogor dibuka bagi umum. Sebagai warga Bogor, ia sudah tak asing lagi dengan pemandangan ini. Main-main Dian menggandeng tangan saya dan Sesti, mengajak kami pergi ke Kebun Raya saja.


“Situasi terkendali. Rombongan tidak memiliki motif politik,” bisik seorang bapak kepada walkie-talkie-nya. Ia mengikuti rombongan kami dari belakang. Sementara itu, di depan, kami berkeliling didampingi Pak Ferry. Pemandu kami ini mengenakan baju safari coklat, kalung logam, sabuk bercorak, sepatu putih, dan cincin bermata batu akik. Kumisnya panjang! Melalui toa, Pak Ferry bercerita tentang sejarah Istana Bogor. Konon, Gubernur Jenderal VOC ke-29, Gustaff Willem Baron Van Imhoff jatuh hati dengan keasrian Bogor yang pada tahun 1744 masih berupa sebuah kampung kecil. Tahun itu juga Bogor dijadikan daerah pertanian dan dibangunlah sebuah rumah peristirahatan yang menjadi cikal bakal Istana Bogor. Istana Bogor awalnya bernama Buitenzorg atau Sans Souci, berarti 'tanpa kekhawatiran'. Selama 1870-1942, Buitenzorg menjadi kediaman resmi 38 Gubernur Jenderal Belanda dan seorang Gubernur Jenderal Inggris. Istana ini awalnya bertingkat tiga, tetapi meletusnya Gunung Salak pada 1834 memorak-porandakannya. Ketika dibangun lagi pada 1850, Buitenzorg menjadi satu tingkat saja. Tahun 1950, setelah masa kemerdekaan, Istana Bogor mulai digunakan pemerintah Indonesia dan resmi menjadi salah satu Istana Presiden Indonesia. Desember 1954, istana ini menjadi saksi berlangsungnya Konferensi Bogor yang mendahului Konferensi Asia-Afrika.

Menurut Pak Ferry, Presiden Soekarno mengumpulkan, memilih, dan menata sendiri sebagian besar perabotan dan karya seni di sana. Setiap kali singgah beliau akan melepas sepatu dan memeriksa dengan jarinya kalau-kalau masih ada debu yang menempel. Dapat dikatakan Istana Bogor adalah rumah Bung Karno. Seharusnya hal-hal tersebut membuat Istana Bogor berbicara banyak tentang presiden pertama kita, tetapi satu-satunya kesan yang melekat pada saya hanyalah betapa playboy-nya beliau! Dinding istana terlalu penuh lukisan-lukisan perempuan yang bukan istrinya. Dan walaupun istana menyimpan banyak patung perempuan telanjang, patung laki-laki yang saya temukan hanya patung Hercules di halaman istana. Bagaimana ini adil!? Dari pintu ruang baca, Pak Ferry memperlihatkan lukisan The Russian Wedding karya maestro Rusia, Makowski. Lukisan ini sangat besar, semarak menggambarkan suasana pesta. Sayangnya pengunjung tak diperkenankan masuk; sulit mengamati detil lukisan maupun melirik judul buku-buku yang tersimpan dalam lemari.


Di awal penjelasannya, Pak Ferry menyatakan Istana Bogor merupakan kekayaan milik bangsa. Namun setelah dua jam berkeliling, saya justru meragukan kebenarannya. Kemewahan Istana Bogor terasa jauh dari apa yang sehari-hari dihadapi kebanyakan orang Indonesia. Ketika rombongan hendak melanjutkan perjalanan, seperti kerasukan, tiba-tiba Teh Cici menyerukan kamilah para generasi muda 'terpilih' yang berkewajiban mengenal 'jati diri bangsa'. Seruan ini terdengar sumbang dan tidak pada tempatnya. Mencari jati diri bangsa di Istana Bogor ibarat mencari suara rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat. Lagipula bukankah semua orang memang 'terpilih' dalam satu dan lain hal? Pada perjalanan ke Jakarta, Auliasa meneruskan desas-desus kalau sebetulnya Teh Cici tadi 'dimasuki' arwah Bung Karno. Saya dan Sesti kontan bertukar pandangan skeptis. Alis saya terangkat. Betapa bersyukurnya saat itu kami duduk bersebelahan!

***

Seperti mesin cuci yang terkadang membuat kaus kaki melar, kemacetan lalu-lintas Jakarta juga mengulur waktu perjalanan kami. Berapa lama perjalanan paling lama yang pernah Bapak tempuh? Saat itu istirahat dan santap siang di Pusdiklat Kemlu bahkan tak mampu mengenyahkan rasa lelah karena kelamaan menekuk kaki. Walhasil begitu sampai di Gedung Pancasila yang saya inginkan cuma tidur atau lari-lari. Bahkan mata saya nyaris terpejam sebelum menyadari bahwa sosok yang memandu kami di sana tak lain adalah Pak Isman! Meskipun teras gedung waktu itu terlalu panas untuk mendengarkan sambutan beliau, saya lega rombongan akan dipandu Pak Isman. Sekental apapun sejarah Gedung Pancasila, rasa-rasanya tak akan sampai melarutkan selera humor kepala museum kita itu.


Menurut Pak Isman, Gedung Pancasila dinamakan begitu karena di sanalah lahir Pancasila sebagai dasar negara. Pada sidang tanggal 1 Juni 1945, Ketua Badan Penyelidik Upaya-Upaya Kemerdekaan (“Ingat BPUPK,” tegas Pak Isman. “Bukan BPUPKI. BPUPK diterjemahkan dari Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai, nggak ada kata Indonesia-nya, kan?”) Dr. Radjiman Wedyodiningrat bertanya kepada seluruh hadirin, “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk?” Melalui pidatonya, Ir. Soekarno menjawab pertanyaan itu sekaligus menanggapi uraian pembicara-pembicara sebelumnya. Jawaban Bung Karno berisi lima sila yang diusulkan sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hadirin lantas bertepuk tangan secara 'riuh' dan 'menggemparkan'. Selanjutnya Dr. Radjiman mengenang pidato tersebut sebagai momentum kelahiran Pancasila. Menurut beliau, meskipun saat itu sidang berlangsung di bawah pengawasan bala tentara Jepang, pidato Bung Karno keluar dari jiwanya secara spontan.

Sejarah mencatat Gedung Pancasila mulanya merupakan kediaman para panglima Belanda. Dianggap memadai, bangunan ini lantas dijadikan markas Volksraad atau Dewan Perwakilan Rakyat pada 1918. Saat itu, anggota Volksraad berasal dari berbagai kalangan, terdiri dari orang-orang Belanda, pribumi, China, Arab, dll. Menurut situs resmi Kemlu: “Volksraad adalah sebuah dewan rakyat yang wewenangnya sangat terbatas. Semula dewan hanya diberi hak untuk memberi nasihat kepada pemerintah. Dalam perkembangannya, pada 1927 Volksraad diberi juga wewenang untuk membuat Undang-Undang bersama dengan Gubernur Jenderal. Namun wewenang itu tidak banyak berarti karena Gubernur Jenderal tetap memegang hak veto.” Rasanya praktek seperti ini masih terjadi ya, Pak? Membaca istilah 'hak veto' saya selalu teringat proses pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB.

Sekitar tahun 1950, Gedung Pancasila mulai menjadi kantor Kementerian Luar Negeri. Menjelang Konferensi Asia-Afrika, gedung ini menjadi pusat kegiatan Sekretariat Bersama Konferensi yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri, Pak Roeslan Abdulgani. Anggota Sekretariat Bersama terdiri dari para Duta Besar Burma, India, Pakistan, dan Ceylon di Jakarta. “Sekarang Gedung Pancasila digunakan untuk menerima tamu-tamu asing setingkat menteri,” jelas Pak Isman. Pandangan saya tertuju pada karpet merah yang memanjang di atas lantai marmer. “Selain itu di sini juga jadi tempat penandatanganan perjanjian-perjanjian internasional.”

Sekretaris Jenderal Asian-African Reading Club, Adew Habtsa mengibaratkan bagian dalam Gedung Pancasila seperti perempuan cantik yang dandanannya menor. Tirainya biru. Wanginya menusuk. Sementara itu, beberapa chandelier menyala gemerlap. Sejumlah perabotan terbuat dari kayu berukir, sejumlah lainnya berlapiskan kertas emas. Bu Nunun berpendapat usaha memadukan arsitektur klasik kolonial dengan gaya tradisional Indonesia ini terasa dipaksakan. Rombongan kami lalu foto bersama Pak Isman di bawah Elang Garuda Pancasila. Foto ini, sebagaimana foto-foto lain di dalam gedung, sayangnya tidak bisa di-published. Saya tidak yakin apakah Bapak pernah masuk ke Gedung Pancasila atau belum, yang jelas gedung ini akan dibuka bagi umum pada tahun depan.

***

Pak R, sudah berkali-kali memoar Roeslan Abdulgani, The Bandung Connection, dibahas dalam Asia Africa Reading Club. Namun saya belum juga bosan. Itu karena beliau menuturkan berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika dengan ringan sekaligus penuh pengamatan. Sudut pandang orang pertama yang digunakan menimbulkan perasaan dekat antara Pak Roeslan dan pembaca. Saya ingat suatu hari pernah menanyakan seperti apa rumah Pak Roeslan. “Rumah Belanda. Bagus, masih terawat,” jawab Bapak. “Ketika museum sedang dibangun, dua kali saya ke sana untuk menanyakan lebih detil fungsi ruang-ruang di Gedung Merdeka pada saat konferensi tahun 1955.” Sayang upaya ini gagal. “Kunjungan pertama: beliau sakit. Kunjungan kedua: Pak Roeslan sedang pergi ke Surabaya. Saya hanya bertemu ajudannya.” tutur Bapak. “Ajudannya cerita apa?” tanya saya. “Nggak cerita apa-apa. Kami hanya bicara di luar rumah. Pembangunan museum keburu selesai sebelum saya bertemu beliau.” Bapak tidak mengatakannya, tetapi saya tahu Bapak kecewa.

Rumah Pak Roeslan terletak di Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat. Seperti yang Bapak katakan, rumah ini merupakan rumah Belanda yang dirawat baik-baik. Di sekitarnya berderet rumah-rumah serupa dari era kolonial. Konon permukiman ini merupakan permukiman villa pertama di Batavia. Kawasan ini ibarat Miss Marple dalam novel Agatha Christie: wanita tua, tenang, tetapi tahu banyak. Salah satu rumah di sana merupakan tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Rumah Pak Roeslan pun pernah ditinggali Bung Karno sekembalinya dari pengasingan di Bengkulu. Pusat Kebudayaan Rusia di seberang jalan menarik perhatian saya dan Sesti. (“Apa rasanya punya rumah di seberang Pusat Kebudayaan Rusia?” ujar Sesti berandai-andai. “Apa otomatis kita jadi jago Bahasa Rusia?” Diam-diam saya menggeleng.) Begitu bus berhenti, rombongan kami segera disambut Bu Lia, anak bungsu Pak Roeslan, serta Pak Manto, suaminya. “Akhirnya sampai juga!” seru Bu Lia. “Aku kira kalian hilang! Aku SMS Deni jam sebelas katanya ada di Bogor. Sampai sore, kok nggak datang-datang? Ayo masuk. Pasti pada mau ngopi, kan?”


Sayang sekali dulu Bapak tidak sempat masuk ke rumah Pak Roeslan. Kalau ya saya yakin Bapak bakalan senang sekali! Rumah ini penuh dengan koleksi beliau: koleksi tongkat, koleksi Al-Qur'an, koleksi porselen, sampai koleksi buku yang katanya mencapai sepuluh ribu judul! Pada secarik kertas pembatas Al-Qur'an, Pak Roeslan mencatat ayat-ayat kesukaannya. Di ruang depan, meja kerja Pak Roeslan dibiarkan seperti ketika pemiliknya masih hidup. Terlihat kaca pembesar dan mesin tik yang hingga menjelang akhir hayatnya masih sering digunakan Pak Roeslan untuk membaca dan menulis. “Jangankan membujuk bapak menulis dengan komputer, menulis dengan mesin tik elektronik saja sulitnya luar biasa,” kenang Bu Lia. “Akhirnya yang terpenting bagi kami adalah kenyamanan bapak.” Menurut Pak Manto, setelah Sholat Subuh biasanya ayah mertuanya tidak tidur, tetapi langsung menulis artikel untuk media massa ataupun tulisan-tulisan ilmiah.


“Sejak kecil aku tinggal di sini bersama Bapak dan Ibu,” cerita Bu Lia. “Waktu aku mulai besar, semua kakakku sudah menikah dan tinggal berpencar-pencar. Sama kakak yang paling dekat saja aku beda sepuluh tahun. Biasanya di album foto lama cuma ada foto-foto bapak, ibu, dan kakak-kakakku. Kalau ada aku, paling fotonya cuma bertiga sama bapak dan ibu! Nah, baru sekarang saja ada foto aku dan kakak-kakakku.” Beliau lalu menunjuk sebuah kolase besar yang menempel di dinding. “Itu ibu yang buat,” ujar Bu Lia. Kolase itu memuat foto-foto Pak Roeslan bersama Ibu Sihwati selama lima puluh tahun pernikahan mereka. Pasangan ini berfoto di berbagai belahan dunia. Mereka mengenakan pakaian formal, pakaian santai, atau mantel tebal. Terkadang Ibu Sihwati memakai kebaya, terkadang Pak Roeslan memakai kupluk, Sesekali mereka berfoto dengan anak-anak, sesekali mereka berfoto dengan tokoh-tokoh dunia: Kruschev, Chou En-Lai, hingga Bobby Kennedy. “Keluarga kami sudah mengerti mengapa bapak jarang ada di rumah. Sebelum meninggal pun beliau masih sering pergi ke Surabaya, kalau tinggal di rumah terlalu lama bapak malah sakit. Bapak orangnya suka bercanda, tapi leluconnya sinis. Kadang-kadang orang suka bingung membedakan apa bapak serius atau sedang menyindir.”

Biasanya ketika menemukan nama dalam buku pelajaran sejarah, saya mendapat kesan bahwa pemilik nama itu hidup di dunia lain. Dunia yang hanya terdiri dari pahlawan dan pesakitan. Bagi saya kunjungan ke rumah Pak Roeslan menjadikannya bukan lagi sebagai mitos, melainkan sebagai 'orang' seperti saya, Sesti, Auliasa dan teman-teman kami lainnya. Saat hari mulai gelap rombongan kami berpamitan. Namun saya masih menyimpan segudang pertanyaan trivial tentang Pak Roeslan. Hal-hal seperti buku kesukaan beliau, musik kesukaan beliau, tentang film kesukaan, tentu para peserta AARC memahami betul kegemaran beliau menonton film-film thriller. Namun, apa makanan kesukaan Pak Roeslan? Hahaha. Pak Roeslan officially menjadi penulis favorit saya! Penulis ini tidak hanya menulis buku yang asyik dibaca, tetapi juga ikut serta dalam usaha menulis babak baru sejarah dunia.


***

(bersambung)

Kang Adew menuliskan puisi-puisi tentang napak tilas di sini : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150236305922730
M. Ryzki Wiryawan dari Komunitas Aleut menceritakan pengalaman napak tilasnya di sini: http://aleut.wordpress.com/2011/07/16/napak-tilas-konperensi-asia-afrika-sebuah-petite-histoire/
Foto oleh Iyan Septiyana.