Jumat, 10 Juni 2016

Hal yang Sulit untuk Diceritakan

"Saya mau cerita tentang ... tentang ...." Aku tergagap. Perempuan berkacamata di hadapanku memandang dengan tidak terputus.

Aku menelan ludah. "Jadi sebaiknya saya bercerita langsung, atau boleh berputar-putar dulu? Sejujurnya saya nggak yakin bisa menceritakan ini secara langsung."

"Manapun yang membuatmu nyaman," katanya.

"Jadi ... beberapa waktu yang lalu, saya mengunjunginya. Dia adalah laki-laki yang pernah saya sayangi. Mungkin saat ini pun begitu. Tapi dulu kami tidak berkesempatan menjadi dekat. Sekarang, kami berteman baik. Saya menghubungi dan bertukar kabar dengannya dari waktu ke waktu. Keakraban kami sampai pada tingkat di mana kami bisa saling melontarkan kata-kata menyakitkan, sambil juga menyadari bahwa apa yang lain katakan punya kebenarannya juga. Berkali-kali saya mempertimbangkan menjalin hubungan dengannya. Tapi saya khawatir. Dia tidak pernah bercerita tentang keraguannya. Selalu menunjukkan bahwa dia tidak butuh apa-apa dari saya. Ketika suatu hari saya mengatakan, saya tidak pernah melihatnya sebagai obyek seksual, dengan segera dia membalas, 'I don't either.' Lalu dia pindah kota dan kami semakin sedikit berhubungan.

"Di kota yang kemarin saya kunjungi itu, dia membuka klinik penyembuhan trauma. Karena banyak teman yang sudah memberi testimoni positif, saya ingin mencoba juga meskipun nggak ingat punya trauma yang belum selesai. Melalui sedotan merah jambu yang disediakan, orang-orang yang ingin 'sembuh' dari trauma, mengalirkan cairan dari dalam kepala mereka ke baskom pikiran yang ada di depannya. Cairan yang keluar biasanya berwarna gelap dan pekat. Para pasien lalu diminta meneliti cairan itu. Menghancurkan bagian-bagian yang padat dengan sendok. Lalu meminumnya kembali dengan sedotan yang sama. Seperti antibiotik, sepahit apapun cairan itu mesti dihabiskan.

"Bersama saya, ada seorang lagi pasien yang masuk ke ruang pemeriksaan. Wajahnya memerah saat mengeluarkan cairan kepalanya, matanya pun berair. Supaya aliran cairan kepalanya mengucur deras, dia disarankan bercerita secara lisan. Dia bilang, beberapa tahun silam dia dipaksa berhubungan seksual oleh beberapa orang sekaligus. Yang mengejutkan adalah ... meskipun terpaksa, dia sesungguhnya menikmati pengalaman tersebut. Dia melewatinya tanpa mendapat luka fisik. Ingatan akan pengalaman itu senantiasa dia putar kembali dalam kepalanya ketika hidup terlalu berat untuk dijalani. Ingatan itu ibarat pintu darurat yang bisa diaksesnya kapan saja. Masalahnya adalah, pintu itu tidak membawanya ke mana-mana. Bertahun-tahun dia merasa ada di tempat yang sama. Pengulangan ingatan dan pengalaman tersebut memberi kesenangan yang pasti, yang sekaligus akan hilang seketika. Setelahnya dia merasa sangat buruk karena menyadari bahwa dia masih ada dalam lubang yang sama.

"Secara mengejutkan, cairan kepala saya warnanya cerah. Ungu muda. Tidak ada benda padat yang mesti dihancurkan. Cairannya beraroma manis, dan agak kental. Rasanya pun ringan, setelah saya minum segelas air putih, bekas-bekas rasanya langsung hilang dari mulut saya.

"Saat itu pun, saya berhadapan dengan sisi teman saya yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Dia bisa menyimak cerita pasiennya dengan mata yang mendengarkan. Kata-katanya yang saya tahu bisa seruncing garpu dia tahan. Dengan sabar, dia menyemangati kami meminum habis cairan di baskom masing-masing.

"Setelah selesai, kami semua merasa baikan. Seketika kami mendapat pemahaman baru tentang pengalaman kami. Teman saya mengingatkan sebaiknya kegiatan kami dilakukan secara berkala, karena akar-akar pikiran buruk tidak bisa sepenuhnya tercerabut. Bibit-bibitnya masih ada dalam kepala kami, dan dengan cepat mereka akan tumbuh apabila tidak rutin diproses.

"Usai sesi penyembuhan, saya dan teman saya makan malam. Kami mengunjungi rumahnya. Rumah itu terletak di sebuah gang panjang yang padat. Malam itu bahkan ada pasar malam di sepanjang gang. Sesampainya di rumah, saya merasa amat penat dan segera ingin mencium bantal saja. Tapi dia melarang. Dia minta saya mandi lebih dahulu. Malas-malasan, saya menurut. Karena toh ini kediamannya. Setelah mandi, saya langsung tumbang di atas kasurnya. Yang saya ingat sebelum tertidur, bahwa dia menyalakan komputer dan seprei tempat tidurnya berwarna ungu muda.

"Seperti biasa saya terbangun pada dini hari. Lampu kamar sudah dimatikan, dia berbaring di sebelah saya. Saya memeriksa telepon saya, saat itu jam tiga. Lalu saya mencoba tidur lagi. Sayup-sayup saya mendengar suaranya yang lebih serak daripada biasanya. Katanya, 'Let's hug each other.'

"'Kenapa?' tanya saya.

"'Because it's nice,' jawabnya.

"Saat itu saya teringat sisi dirinya yang baru saja saya jumpai. Saya merapatkan tubuh saya kepada tubuhnya. Dia menjadi sendok. Saya merasakan napasnya di tengkuk saya. Tangannya merangkul dada saya. Badannya hangat. Kaki kami bertautan. Saya merasakan ada tekanan di pantat saya. Dia mengeratkan pelukannya. It is nice indeed. Tubuh saya merespons tubuhnya. Kami tidak bisa lagi bilang bahwa kami tidak saling tertarik secara seksual. Namun di sisi lain saya merasa janggal. Karena pada siang hari, dia tidak pernah menunjukkan bahwa dia punya kebutuhan ini.

"Saat itu, saya bertanya-tanya, apakah dia melakukan ini kepada semua orang yang naik ke tempat tidurnya? Apakah saya hanya daging? Sebetulnya tidak apa-apa kalau dia hanya ingin daging. Masalahnya kami sudah lama mengenal, dan kemungkinan besar akan ketemu lagi, karena lingkaran kami tidak besar-besar amat. Seseorang mungkin hanya ingin memperlakukan yang lain sebagai daging, tapi bisa saja ada situasi di mana daging itu bernama. Dan dia harus duduk semeja dengan daging itu."

Aku menatap pemandangan yang terlihat di jendela di samping tempat kami duduk. Motor-motor berseliweran. Angkot berhenti dan melaju pelan-pelan. Pejalan kaki yang melintas. Segala hal yang lewat tanpa peduli apa yang terjadi di tempat yang dilewatinya.

"Saya merasa nggak bisa memberi lebih dari pelukan. Meskipun kemudian, dia menggesekkan bagian bawah tubuhnya ke bagian bawah tubuh saya. Lalu kami saling berhadapan dan membenamkan wajah yang satu di wajah yang lain. Lalu berpelukan sampai badan kami terasa gerah ...."

Perempuan di hadapanku memandangku dengan cara yang sama ketika cerita ini dimulai. Untuk beberapa saat, dia tidak berkata-kata. Sampai akhirnya dia bertanya, "Itukah pertama kalinya kamu sedekat itu dengan laki-laki?"

Mulutku serta-merta terasa amat pahit. Mungkin inilah yang dirasakan pasien yang kujumpai waktu itu di klinik penyembuhan trauma.

"Jadi dulu papa saya ...."

***

(Ditulis di pertemuan Couchsurfing Writer's Club Bandung (9/6), temanya Unleashed Your Sexual Fantasy. Karena yang datang hari itu conk semua, jadi kami nggak mengerem tulisan kami. Meskipun bagi saya untuk membacakannya berat juga. Kalau sudah begini, saya berharap lebih terbiasa menulis dalam bahasa Inggris. Supaya saya bisa berjarak dengan cerita yang saya bacakan.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar