Rabu, 01 Juni 2016

Yang Tidak Berubah

Aku menemukannya lagi di bus yang membawaku ke kantor pada pagi ini. Waktu perjumpaan kami tidak bisa lebih tepat lagi daripada sekarang. Aku baru saja pindah ke kota baru, kantor baru, pondokan baru, sampai warung langganan baru. Kemunculan wajah lama seketika memberi kenyamanan karena kini aku tahu ada yang tahu aku. Kalau dia terkejut melihatku, maka dia tidak memperlihatkannya. "Selamat pagi," ujarnya seolah kami baru bertemu kemarin. Seulas senyum muncul di wajahnya ketika aku bercerita bahwa aku pindah kemari karena ingin berganti suasana. "Aku semakin tidak yakin akan mendapat pengalaman dan teman baru lagi. Setiap berangkat kerja, aku ingin memutar ke jalan yang paling berliku. Aku semakin tak sabaran melihat tikungan yang itu-itu lagi."

***

Kemarin, sepulang kerja, aku membongkar barang-barang yang belum sempat kubenahi. Buku-buku harianku mengisi dua kardus Indomie. Aku mulai mengisi diary on and off sejak masih SD, lalu menetapkannya sebagai kewajiban harian pada usia ke-19 tahun. Dalam setahun, aku mengisi satu sampai dua buku. Dapatkah kamu menebak berapa usiaku saat ini?

Namanya muncul berulang kali di buku harian dari tahun 2009. Mataku menangkap sebuah paragraf yang seketika membawaku kembali ke masa itu--Hal-hal yang saya sukai dari -----:
1. Kami sama-sama suka membaca. Dia banyak bercerita tentang hal-hal yang lantas membuat saya penasaran.
2. Wangi cologne yang dipakainya sesegar wangi rumput yang baru saja dipangkas.
3. Kecerdasannya biasa saja.Namun saya suka ketika dia terlihat gugup setiap saya mengatakan hal pertama yang terlintas di benak saya saat berjumpa dengannya: "Senyum chipmunk!" "Perut Buddha!" "I like you love you!"

***

Lucu. Setelah bertahun-tahun, sikapku pada dasarnya masih seperti yang tertangkap dalam buku-buku harian yang kertasnya sudah menguning itu. Seakan aku tidak pernah belajar dari pengalamanku. Maka, wajar saja kini setiap pagi aku melangkah ke halte bus dengan langkah yang ringan. Selalu ada dia di kursinya. Selalu ada teman mengobrol. Dinamika kami berulang kembali. Aku akan membahas apapun yang terlintas di benakku: kesalahpahaman di lingkungan baru; air panas yang semalam tak mengalir di pondokan; sampai seorang komuter tampan dengan jaket berbercak cat dan kanvas yang ditutup kain putih. Dia yakin kanvas itu memuat lukisan realistis, sementara aku menduga lukisan impresionistik.

Ah kupikir, sikapnya juga masih seperti dulu. Dia senantiasa memegang teguh keyakinannya. Keyakinannya bisa berkembang dan berubah-ubah, tapi dia tak pernah menunjukkan kesadaran bahwa keyakinannya mungkin saja salah. (Inilah yang kumaksud dengan 'Kecerdasannya biasa saja.') Dia pendengar yang baik, tapi masih berjarak. Kadang aku merasa, diam-diam, di balik matanya yang sipit itu ada benak yang senantiasa menilaiku.

Sebetulnya itu tidak jadi soal, karena aku pun selalu menilai orang lain. Namun aku tidak pernah menyimpannya sendiri. Aku selalu menyatakan penilaianku--membenturkannya dengan kenyataan. Komuter tampan itu ternyata membawa foto sebuah meja yang sekilas dipadati buku, asbak, pensil, dan secangkir kopi, tapi jika dilihat lebih dekat, semua benda itu terbuat dari kertas. "Jadi ini realistis atau impresionistik?" tanyanya. "Mungkin dua-duanya?" Aku dan si komuter bertukar pandangan, kami mengatakan hal yang sama secara bersamaan.

***

Sejarah (yang kutulis sendiri) mencatat bahwa dengan segera namanya hilang dari buku harianku. Setelah pernyataan, "Aku suka kamu," yang diucapkan dengan lebih serius, dia seolah berlari menghindariku dengan kecepatan cahaya. (Tepatnya kurang dari 43 menit, karena tahu-tahu aku mendengar kabar bahwa dia telah pindah ke Jupiter.)

Sepeninggalnya, serta-merta aku menyadari betapa sedikit pengetahuanku tentang dia ... di luar informasi yang bisa diperoleh di social media. Aku tidak tahu ... preferensi potongan ayam gorengnya: paha, sayap, atau dada? Tapi serius. Aku tidak tahu apakah dia bermigrasi sendiri atau bersama keluarganya? Apakah selama kami bersama diam-diam dia sedang mengurus segala dokumen kepindahan? Apa yang membuatnya tidak bercerita?

Untungnya aku tak pernah berharap pertanyaan tersebut akan terjawab suatu hari. Karena sekarang, setelah kami kembali berjumpa pun, pertanyaanku tetap tak terjawab. Ada pertanyaan yang sudah bisa kujawab sendiri (paha). Namun, ketika kutanyakan soal-soal yang lain, kebanyakan dia hanya mengangkat bahu dan mengatakan, "Lupa. Itu kan sudah lama sekali."

***


(Cerita ini dikembangkan dari tulisan yang dibuat pada saat sesi menulis Couchsurfing Writer's Club (26/5) yang lalu. Sepertinya bisa lebih panjang lagi. Rendy, host sesi nulis malam itu menentukan temanya: What Makes You Vulnerable. Saya merasa rentan ketika menyukai orang yang tidak bisa sama terbukanya dengan saya. Karena temanya begitu, dalam sekejap saja klab nulis kami berubah jadi klab curhat. Di penghujung pertemuan, saya merasa lebih dekat lagi dengan teman-teman yang lain.

Pertemuan klab nulis selanjutnya akan diadakan hari Kamis (2/6) jam 19:15, di Kedai Kecil, Jalan Dipatiukur, dekat Starbucks.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar